Minggu, 27 November 2011


Amalkanlah Marhaenisme.!



Saudara-saudara seluruh keluarga Front Marhaenis,
Saya ikut gembira, bahwa saudara-saudara seluruh keluarga Front Marhaenis pada hari ini merayakan ulang tahun lahirnya PNI dan Marhaenisme; dan saya mengharapkan hendaknya Front Marhaenis terus maju dalam menggalang seluruh kekuatan revolusioner Rakyat Marhaen kita.
Sewaktu saya 36 tahun yang lalu mencetuskan ajaran Marhaenisme, dasar-pokok keyakinan saya adalah bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dicappai apabila kita dapat mempersatukan seluruh kekuatan Rakyat Marhaen itu dalam suatu organisasi yang maha-hebat. Tanpa persatuan bulat antara seluruh kekuatan rakyat kita, Indonesia merdeka tidak mungkin tercapai! Dan tanpa suatu ajaran revolusioner, maka persatuan itu tak mungkin tercapai! Iitulah keyakinan saya pada waktu itu!
Keyakinan saya ini bukan begitu saja tumbuh; atau dalam bahasa Belandanya bukan hasil dari een slaploze nacht; melainkan hasil dari pemikiran yang luas dan mendalam sekali. Pula hasil pengalaman praktek perjuangan saya, baik selaku pemuda dan mahasiswa, maupun kemudian sebagai seorang pemimpin baru dan muda dalam barisan pergerakan rakyat kita, sekitar tahun 1915-1926 dulu.
Dan berdasarkan hasil pemikiran serta praktek perjuangan saya itu, saya mencetuskan ajaran Marhaenisme pada tahun 1927, 36 tahun yang lau; suatu ajaran yang mengandung ilmu perjuangan revolusioner untuk menggalang persatuan Kaum Marhaen, dan yang saya rumuskan pada waktu itu sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Tanpa persatuan bulat antara seluruh kekuatan rakyat kita, Indonesia merdeka tidak mungkin tercapai! Dan tanpa suatu ajaran revolusioner, maka persatuan itu tak mungkin tercapai! (Bung Karno)
Dalam hal ini memang sayang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Malahan ajarannya Karl Mar tentang historis-materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya, dan saya gunakan, ya… sayatoepassen, saya terapkan pada situasi masyarakat Indonesia. Dan sebagai hasil dari penggunaan toepassing atau penerapan historis materialisme Karl Marx di masyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri, dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri, dan sebagainya lagi, maka saya datang kepada ajaran marhaenisme.
Maka dari itu saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita minimal, paling sedikit, harus menguasai dua pengetahuan:
Pertama: Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan
Kedua : Pengetahuan tentang Marxisme.
Siapa yang secara minimal tidak menguasai dua hal itu tak akan dapat memahami Marhaenisme ajaran saya.
Tentang hal ini, maka saya tidak akan jemu-jemunya untuk mengemukakan kepada saudara-saudara dari seluruh Front Marhaenis. Sebabnya ialah tidak lain supaya kita semua jangan sampai salah terima, salah tafsir, dan salah paham antara kita sama kita.
Selain daripada itu, saya ingin supaya kita semua terus menyadari sedalam-dalamnya, bahwa juga dalam alam kemerdekaan sekarang ini ajaran Marhaenisme, seperti yang dasar-dasar pokoknya saya terangkan di atas, masih berlaku penuh. Malahan di dalam alam manipol/Usdek sekarang ini—dan Manipol/Usdek adalah pemancaran dari pancasila—maka dasar-dasar pokok di atas perlu terus kita pegang teguh. Dan tidak hanya kita pegang teguh, tetapi harus kita perluas, perdalam, dan perkembangkan, di medan praktek-perjuangan! Hanya dengan mempraktekkan di medan perjuangannya kaum Marhaen, maka ajaran marhaenisme akan terus bersinar!
Karena itu, saya untuk kesekian kalinya minta perhatian saudara-saudara sepenuhnya, supaya ajaran-ajaran marhaenisme, Pancasila, Manipol/Usdek, beserta segala pedoman-pedoman pelaksanaannya itu terus saudara-saudara perdalam, perluas, dan perkembangkan di medan praktek-perjuangan!
Ini berarti bahwa kita semua harus selalu berjuang di tengah-tengah rakyat Marhaen, membulatkan seluruh kekuatan marhaen, dan bersama-sama dengan kaum Marhaen itu terus berjuang melawan Kapiltalisme, imperialisme, kolonialisme, dan Neo-kolonialisme, di mana pun ia masih bercokol dan berada.
Tetapi, kita tidak boleh berjuang secara “ngawur.” Kita harus berjuang dengan teratur. Teratur dalam ideologinya, dan teratur dalam organisasinya! Barisan kaum Marhaen mesti kokoh dan kuat. Bukan hanya ideologinya yang kokoh-kuat, tetapi juga keorganisasiannya. Dan ajaran Marhaenisme, sebagai ilmu perjuangan dan dasar perjuangan, memberikan kepada kita semua landasan-landasan yang kokoh-kuat untuk menjamin kemenangan kaum Marhaen dalam memperjuangkan cita-cita revolusinya dewasa ini, terutama dalam membangunkan sosialisme Indonesia.
Untuk itu kita harus benar-benar berpegang teguh kepada apinya Marhaenisme, dan jangan kita hanya sekedar mencukil-cukil saja abunya ajaran Marhaenisme.
Karena itu, dalam kita semua memperingati ulang tahun ke-36 lahirnya PNI dan Marhaenisme ini, saya sekali berpesan: Warisi apinya dan jangan abunya.
Dan teruskan apinya itu menyala-nyala untuk persatuan seluruh kekuatan rakyat marhaen yang revolusioner, menuju ke arah kemenangan segala cita-cita revolusi kita, membangunkan sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila
Jakarta, 4 Juli 1963
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI,
(SOEKARNO)
BAPAK MARHAENISME

Selasa, 08 November 2011


Hentikan NEOLIBERALISME.! Rebut Kembali Kedaulatan Nasional.

Guna mewujudkan cita" NASIONAL meliputi: melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. maka para pendiri bangsa telah menitipkan satu pasal dalam UUD 1945, yaitu pasal 33, sebagai fondasi perekonomian yang akan menjamin terciptanya kesejahteraan umum (rakyat). akan tetapi sudah enam puluh enam tahun perjalanan bangsa ini, semangat pasal 33 UUD 1945 antara lain indonesia masih menjadi sumber atau penyedia bahan baku (Batu Bara,Minyak Bumi dll). bagi negeri-negeri KAPITALIS maju (imperialis), Indonesia masih menjadi tempat penanaman modal asing terutama sektor-sektor yg sterategis, Indonsia masih menjadi tempat pemasaran barang-barang hasil produk negara maju sehingga mematikan industriy lokal, indonesia menjadi penyedia tenaga kerja murah, baik untuk keperluan pasar tenaga kerja di dalam negeri maupun pasar pasar tenaga kerja internasional. Gaji buruh di indonesia disebut-sebut salah satu yang paling rendah di asia. sebagai contoh: upah buruh Indonesia lebih rendah tiga hingga empat kali lipat dibandingkan MALAYSIA. ini diperparah lagi dengan pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dan dalam pandangan kami jika pasal 33 UUD 1945 dijalankan secara benar dan konsisten, maka tidak perlu terjadi hal-hal seperti di atas. Sayangnya, kendati pasal 33 masih ada dalam konstitusi sekarang, tetapi semangatnya sudah dibuang ke keranjang sampah oleh pemerintah dan ekonomi NEOLIBERAL.

terkait latar belakang, berikut sikap politik Gerakan Nasional Pasal 33:
- Laksanakan Pasal 33 UUD 1945
- Lanjudkan Agenda Reforma agrarian UUPA 1960
- Nasionalisasi aset-aset Negara di bawah Kontrol RAKYAT

Sabtu, 01 Oktober 2011


Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

                                               
Rumah Kediaman Ibu Kandung Ir. Soekarno
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.

Latar Belakang dan Pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Masa Pergerakan Nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa Penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.



Masa Perang dan Revolusi
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Rumah Persembunyian Ir.Soekarno di Rengasdengklok 

Pembacaan Teks Proklamasi



Setelah Pembacaan Teks Proklamasi


Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.

Masa Kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
 Ir. Soekarno dan John F Kennedy

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
 Soekarno dan Jawaharlal Nehru
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Sakit dan Meninggal
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.


Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol. Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
 Makam Bung Karno

Apa Kejahatan Bung Karno.?


Pertanyaan itu sebenarnya meluncur dari mulut seorang Sukarno sendiri. Dalam penuturannya kepada Cindy Adams, ia membeberkan sejumlah peristiwa percobaan pembunuhan atas dirinya. Baik penggranatan di Cikini, penembakan pesawat tempur Maukar, penembakan saat sholat Idul Adha tahun 1962, pencegatan Cisalak, penembakan di Makassar pendek kata, sebagai Presiden, Sukarno berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan.
Atas rentetan peristiwa itulah, Bung Karno kemudian bertanya, “Apa kejahatanku.? Mengapa mereka mencoba membunuh Sukarno?” Sebuah jawaban yang masuk akal pada saat itu adalah, karena Sukarno bukan seorang Muslim yang patuh. Itulah jawaban versi Islam garis keras pimpinan Kartosuwirjo, yang hendak menggulingkan Pemerintahan Pancasila dan menggantinya dengan Pemerintahan Islam. NKRI menjadi Darul Islam (Rumah Islam/Negara Islam). Hasil penelitian dan penyidikan aparat keamanan memang kemudian mengarah ke sana.
Para pelaku penggranatan dan penembakan berasal dari anasir DI/TII pimpinan Kartosuwirjo. Mereka menuduh Sukarno bukan muslim yang patuh, karenanya patut dibunuh. Ini tentu menjadi ironis, karena dalam banyak literatur, Bung Karno justru dikenal sebagai seorang muslim yang baik.
Satu contoh, mobil Chrysler yang menjadi korban penggranatan di Cikini, antara lain ia dapat justru sebagai muslim yang baik. Tahun 1955, Bung Karno menjalankan ibadah haji. Ia beribadah haji bertepatan dengan hari suci, sehingga ia menjadi seorang Haji Akbar. Haji Besar. Nah, ketika ia hendak kembali ke Tanah Air, Raja Arab Saudi mengatakan, “Presiden Sukarno, mobil Chrysler Crown Imperial ini telah tuan pakai selama berada di sini. Dan sekarang saya menyerahkannya kepada tuan sebagai hadiah.
Kata Bung Karno dalam hati, “Sudah tentu aku idak akan menentang kebiasaan ini (menolak pemberian ini). Di samping itu, aku memang sudah tertarik pada kendaraan itu semnjak aku mulai melihatnya.” Nah, mobil Chrisler ini termasuk salah satu korban penggranatan Cikini.
“Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan…” Begitu keterangan Bung Karno menyikapi sikap brutal atas percobaan pembunuhan atas dirinya, lalu merenggut nyawa-nyawa lain untuk kesia-siaan. Para antek dan pelaku peristiwa itu juga kemudian dijatuhi hukuman mati.
Itulah yang bertubi-tubi memenuhi rongga kepala Bung Karno, demi mengingat semua rentetan percobaan pembunuhan atas dirinya. “Apa kejahatan yang aku perbuat?’ Apa kejahatan Bung Karno? Bukan muslim yang taat, begitu versi kaum militan DI/TII.
Apa kejahatan Bung Karno? “Tidak mau ngeblok ke Amerika (Barat), yang itu berarti tidak mau ngeblok sebagai negara kapitalis murni,” begitu alasan Amerika Serikat dan sekutunya yang getol sekali menghabisi Sukarno melalui berbagai bentuk operasi intelijen mereka di Indonesia. Baik melalui individu, maupun dengan cara mendukung gerakan-gerakan separatis yang ada di Indonesia.
Termasuk jika nanti fakta ini terungkap secara terbuka, bahwa G30S/PKI yang berbuntut pada penggulingan Bung Karno, yang juga konom melibatkan anasir KGB (Soviet). Betapa banyak pihak yang berusaha menjatuhkan pemimpin kita yang satu ini. Menanggapi hal itu, suatu hari seorang mantan menteri era Bung Karno, M. Achadi mengatakan, “Presiden yang berjuang untuk kepentingan bangsanya, pasti banyak musuh. Sebaliknya, presiden yang tidak punya musuh, berarti presiden yang tidak bekerja untuk bangsanya.” (roso daras)


Maha Utang Indonesia Pasca Bung Karno


Sekilas tentang seorang jurnalis berkewarganegaraan Belanda, namanya Willem Oltmans. Dia menulis buku “Bung Karno Sahabatku”. Nah, gara-gar “bersahabat” dengan Bung Karno itulah ia kemudian dipecat dari kantornya, suratkabar paling berpengaruh di Belanda, de Telegraaf. Bukan hanya dipecat, Oltmans kemudian juga dipersona-non-grata-kan. Jadilah ia orang buangan.
Sejak itu, ia terus bersahabat dengan Bung Karno. Ia berpindah-pindah kerja dari satu media ke media yang lain. Bahkan jauh setelah Bung Karno dilengserkan oleh anak bangsanya sendiri, dengan bantuan Amerika Serikat.
Pagi ini, saya sarapan bukunya Oltmans. Saya ingat-ingat, ini kali ketiga saya baca-baca bukunya. Gaya bertuturnya yang mengalir, serta sajian data-data yang akurat, membuat tulisan Oltmans cukup enak dinikmati. Lebih dari itu, kumpulan tulisan Oltmans sejatinya adalah sebuah penuangan catatan buku harian. Ia jurnalis yang correct. Yang menuliskan setiap hal secara detail.
Satu hal yang sempat menyedot perhatian saya, adalah tulisan dia berjudul “Penutup (Amsterdam 1995)”. Dalam tulisannya, ia berkisah tentang kunjungannya (kembali) ke Indonesia tahun 1994, setelah 28 tahun lamanya meninggalkan Indonesia. Ya, untuk beberapa waktu, Oltmans sempat berdiam di sini.
Dari catatan Oltmas, ia menyaksikan, betapa kepemimpinan Soeharto berkembang makin buruk saja. Ia mengkitik pedas terhadap perilaku jenderal-jenderal penyokong Soeharto, serta elite-elite yang lain bergelimang hidup mewah. Dalam setiap seremoni di hotel-hotel dan restoran-restoran mewah, mereka pamer kekayaan. Sekadar gambaran, ia kutip kata-kata Iwan Tirta, sang desainer top. Katanya, “Nyonya-nyonya kalau datang tidak mencari kain yang bagus, tetapi mencari kain yang mahal.”
Oltmans pun kemudian menyimpulkan, untuk rakyat Indonesia yang tinggal di desa-desa, kehidupan mereka tidak banyak berubah. Lantas dialirkanlah data, bahwa utang nasional Indonesia selama pimpinan Bung Karno antara 1945 – 1965, tidak sampai tiga miliar dolar. Itu pun, utang-utang untuk pembelian persenjataan bagi usaha pembebasan Irian Barat.
Sementara, periode pasca 1965 hingga 1995 di bawah Soeharto, utang nasional meningkat menjadi 100 miliar dolar. Bahkan data pengamat menyebutkan, jumlah itu terlalu kecil, dan cenderung terus bertambah, yang akan menimbulkan problem finansial bagi Indonesia, seperti Mexico. Sekarang, kita paham betul arti kalimat Oltmans tersebut, khususnya bagi kita yang mengalami badai krisis moneter, krisis multidimensi yang berbuntut jatuhnya Soeharto 1998.
Bung Karno, dalam kepemimpinannya, menolak dengan sekuat tenaga gelombang “investor” asing, karena pada hakikatnya hal itu sama denga praktek imperialisme dengan “baju” ekonomi. Ini beda dengan Soeharto yang selalu memenuhi keinginan Washington, CIA, dan Tokyo. Ia buka lebar-lebar pintu masuk bagi “peminat asing”. Oltmans menyebut contoh, peran Bob Hasan, tokoh hitam kroni Soeharto, yang mengakibatkan sebagian besar pulau Kalimantan hancur-lebur. Hutan-hutan yang berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem, ditebang, dibabat, digunduli demi 10 miliar dolar setahun.
Ah, Oltmans… kamu satu dari sekian banyak orang Belanda yang berkontribusi bagi Indonesia melalui “catatan harian”-mu. Terima kasih. (roso dars)

Tumpas Pemberontakan PKI Madiun dalam Dua Minggu


Penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, tak lepas dari peran penting Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pas tangal 18 September 1948, saat matahari condong ke barat, kabar itu sampai ke pemerintah pusat di Yogyakarta. Kabar gawat, yang mewartakan meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.
Saat berita itu tiba di Istana (waktu itu dikenal dengan sebutan Gedung Agung), Panglima Soedirman tengah berada di Magelang. Yang pegang kendali ketika itu adalah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Dialah yang segera dipanggil Presiden Sukarno menghadapnya di Gedung Agung.
Kepada Presiden Sukarno, ia memaparkan rencana operasi penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Di sela-sela rapat di Gedung Agung, yang antara lain juga dihadiri Menko Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Segera setelah tuntas Nasution memaparkan konsep penumpasan pemberontaka, berkata Bung Karno, “Sebagai seorang yang telah berbulan-bulan langsung berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya dapat konsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI.”
Tak lama, keluarlah keputusan presiden. Intinya, berupa perintah kepadaa Angkatan Perang Republik Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya, atau simpatisannya.
Sidang kabinet untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun itu hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Setelah itu, Presiden Sukarno menyerahkan mandat pelaksanaanya kepada Jenderal Soedirman. Sementara, untuk pelaksanaannya, Nasution masih menunggu sidang kabinet, yang rencananya baru akan digelar menjelang tengah malam.
Nah, pada sidang kabinet itu, Jenderal Soedirman sudah hadir. Tidak banyak perdebatan dalam sidang kabinet yang membahas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Hanya Haji Agus Salim saja yang berkomentar. Katanya, “Kalau sudah begini, tentulah menjadi tugas tentara.” Sidang itu hanya berlangsung beberapa menit untuk kemudian memutuskan penumpasan pemberontakan tadi.
Jenderal Soedirman segera menugaskan Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto Komandan Brigade X untuk bergerak pada malam itu juga, dan menyampaikan laporannya keesokan harinya. Maka malam itu juga, tentara berhasil melucuti persenjataan Front Demokrasi Rakyat Yogyakarta. Di samping itu, menangkapi sejumlah pentolan yang berafiliasi ke PKI, seperti Alimin, Djoko Sudjono, Abdulmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan.
Semua penerbitan yang berafiliasi ke PKI juga diberangus, percetakannya disegel. Poster-poster dan spanduk-spanduk Front Demokrasi Rakyat dibersihkan, dan diganti poster-poster bertuliskan, “Kami hanya mengakui pemerintah Sukarno-Hatta”. Keseluruhan operasi itu selsai sebelum ayam berkokok. Persis sesuai instruksi Jenderal Soedirman.
Pagi hari menjelang siang, Jenderal Soedirman sudah menerima laporan lengkap dari Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto. Setelah itu, dilanjutkan Rapat Dewan Siasat Militer. Panglima Soedirman kemudian mengeluarkan keputusan-keputusannya. Antara lain, mengangkat Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II Siliwangi di bawah pimpina Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun. Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus.
Keseluruhan operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun itu hanya diberi waktu dua minggu. Prajurit tuntas mengemban tugas, hingga tertangkapnya semua pentolan PKI, bahkan hingga ke eksek

Sukarno, Presiden Miskin


Penulis buku “Fatmawati Sukarno, The First Lady” menuliskan pada bagian ke-6 kalimat sebagai berikut: “Sukarno, mungkin satu-satunya presiden termiskin di dunia. Semasa hidupnya, ia hanya memiliki satu rumah di Batutulis, Bogor. Untuk melukiskan “kemiskinannya”, kepada Cindy Adams, Bung Karno pernah bertutur, “Dan, adakah kepala negara lain yang lebih melarat dari aku, dan sering meminjam-minjam (uang) dari ajudannya?”….
Kita tentu harus melihatnya secara proporsional. Sebagai presiden, lazimnya tentu hidup dalam keadaan serba berkecukupan. Setidaknya, banyak hal yang menjadi beban negara. Meski begitu, kita juga mengetahui, bahwa selama menjabat, Bung Karno tinggal di istana. Istana negara milik negara. Bung Karno sendiri tercatat hanya memiliki sebuah rumah di Batu Tulis, Bogor. Rumah-rumah yang lain, ia belikan untuk istri-istrinya.
Sedangkan rumah Batu Tulis pun, selengsernya Bung Karno langsung disita Sekretariat Negara. Aneh. Entah atas dasar apa, rumah milik pribadi Bung Karno satu-satunya itu diambil oleh negara. Bahkan, Gubernur DKI Ali Sadikin, pernah memberi ebuah rumah dan sebidang untuk tinggal keluarga Sukarno.
Bukan hanya itu, semua harta pribadi milik Bung Karno yang ia tinggalkan di Istana, saat ia “diasingkan” oleh rezim baru, sebatas hanya didata, tetapi barang-barangnya raib entah kemana. Sungguh geram jika melihat kenyataan itu. Sebuah rezim yang diawali dengan konspirasi busuk bersama kekuatan asing, disusul oleh aksi menjarah harta mantan presidennya…. Itulah pondasi Ode Baru.
Tidak berhenti sampai di situ. Anak-anak Bung Karno pun terkena getahnya. Mereka tidak pernah mewarisi harta Bung Karno yang berlebihan. Mereka juga harus bekerja untuk nenopang hidupnya. Guntur dipaksa berhenti sekolah, dan bekerja membantu ibunya. Mega, Rachma, Sukma hidup bersama suaminya. Mereka masih sering berkumpul di rumah ibunya, di Jl. Sriwijaya 26, Jakarta Selatan. Kehidupan Fatmawati sendiri jauh dari kemewahan, sekalipun ia janda presiden, mantan first lady negara ini.
Dan ini cerita nyata… menggambarkan betapa sederhananya keluarga mendiang Bung Karno. Manakala hujan turun deras, air masuk karena atap yang bocor. Beberapa bagian langit-langit rumahnya bahkan tampak rapuh dan rusak. Sebagai janda presiden, Fatmawati tidak menerima tunjangan barang sepeser. Ia, baru menerima tunjangan resmi pada Juni 1979, sembilan tahun setelah kematian Sukarno!
Lebih ironis, ketika tahun 1972, rumah di Jalan Sriwijaya harus ditinggalkan karena tak kuat menanggung biaya perawatan rutin. Fatma mengontrakan rumah itu. Rumah yang telah menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya. Uang kontrakan dipakai antara lain membiayai Guruh kuliah di Belanda. Fatma sendiri hidup bersama ibunya, Khadijah di Jalan Cilandak V, Jakarta Selatan, tak jauh dari lokasi yang sekarang terkenal dengan Rumah Sakit Fatmawati. Namun saat itu, jalan menuju rumahnya sempit dan berlumpur. (roso daras)

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila (ke-1)


Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menepati permintaan Paduka tuan Ketua yan mulia. Apakah permintan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepad sdang Dkuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nati akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang Mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan: Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
Merdeka buat saya ialah “political independence”, politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini “zwaarwichtig” akan perkara yang kecil-kecil “Zwaarwichtig” sampai kata orang Jawa “jelimet”. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai jelimet! Maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Amstrong yang menceritakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka.
Lihatlah pula jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, PT Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya buku, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, sampai di lobang kubur! (tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun 33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politike onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, in one night only! kata Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirkan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade, yaitu orang Badui, diberi pelajaran bercocok-tanam. Nomade diubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, semuanya di seberang jembatang.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff, dan yang maha besar di sungai Djeppr? Apa ia telah mempunya radio-station, yan menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis?
Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Greche, baru mengadakan Djnepprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat, jikalau tuan-tuan demikian, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda itu semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!!! (Tepuk tangan riuh)….
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahl semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka Sekarang, sekarang, sekarang! (Tepuk tangan riuh)….
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political Independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti denga orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Mereka? (Seruan audiens: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balantentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka! (Tepuk tangan audiens menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbeaan antara Sovyet Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negaranya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka. (Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji f500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja kursi, yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu set, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu sitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat-tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dn Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara! (tepuk tangan, dan tertawa).
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinderuitzet, buat 3 tahun lamany! (tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, saudara-saudara sekalian. Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian PT Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekan Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: Kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakithongerudeem, banyak ini banyak itu, “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”
Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnyainternasionaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untukinternasionaalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahan, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka atau tidak? Mau merdeka atau tidak? (Hadirin serempak menjawab: Mauuu!) –(Bersambung)

Selasa, 27 September 2011


Badan pesan

Jadi, apakah bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang nasionalis yang
Muslim dan berhaluan fikiran kiri? Ya, tetapi bukan hanya itu saja! Dari
sejarahnya sejak muda belia, nyatalah dengan jelas bahwa ia adalah seorang
pejuang nasionalis yang tidak tanggung-tanggung. Dalam soal
ke-nasionalisme-an, Bung Karno adalah tokoh raksasa. Dan, sebagai seorang
nasionalis revolusioner, perjuangannya adalah yang paling menonjol dalam
sejarah bangsa Indonesia sampai dewasa ini. Ia juga bukan seorang Muslim
yang sembarangan, yang pengetahuannya tentang Islam hanya dangkal-dangkal
saja, atau hanya pura-pura menganut agama Islam. Ia adalah seorang haji,
yang pernah menyatakan kalau ia meninggal supaya mayatnya diselimuti dengan
bendera Muhammadiyah. Ia juga seorang kepala negara yang revolusioner, yang
berpandangan kiri dan tidak anti kepada marxisme dan tidak anti kepada PKI.
 
Mengingat hiruk-pikuk tentang "sweeping" terhadap penerbitan kiri dan
hingar-bingar tentang anti-komunisme yang akhir-akhir ini menjadi "topik"
hangat dalam pers dan percakapan banyak orang, maka tulisan yang kali ini
mencoba memberikan sekadar sumbangan bahan-bahan untuk pemikiran bersama
dalam perdebatan publik dewasa ini. Dan karena HUT ke-100 Bung Karno akan
diperingati tidak lama lagi, maka penyajiannya juga diakomodasikan dengan
peristiwa ini. Sebab, menampilkan kembali berbagai fikiran Bung Karno dalam
konteks yang sekarang ini, mungkin bisa menjadi bahan referensi bagi banyak
orang tentang arah yang perlu kita tempuh bersama sebagai bangsa yang
beradab.
 
Sebagai "pembuka" penyajian masalah, maka dikutip di sini bagian-bagian
kecil pidato kenegaraan Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1960, yang
diambil dari koleksi "Di bawah Bendera Revolusi" jilid dua. Keseluruhan
pidato ini agak panjang, dari halaman 395 sampai 435 (40 halaman), dan
merupakan kelanjutan dari pidatonya yang amat penting setahun sebelumnya,
yaitu yang terkenal kemudian dengan Manifesto Politik (Manipol). Bagi mereka
yang ingin mengetahui gagasan-gagasan besar Bung Karno, adalah perlu sekali
untuk mempelajari isi kedua pidato ini, di samping pidato-pidatonya yang
lain. Sebab, dengan membaca karya-karya aslinya dan mendengarkan
pidato-pidatonyalah -yang dipadukan dengan memperhatikan
praktek-prakteknya - kita bisa menilai betapa pentingnya ajaran-ajarannya
mengenai berbagai masalah besar bangsa.
 
 
AKIBAT PERANG DINGIN : KOMUNISTO-PHOBI
 
Bagian kecil pidatonya tahun 1960 itu adalah sebagai berikut:
" Beberapa tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah di
luar negeri, - kemudian juga meniup di angkasa kita -, apa yang dinamakan
"perang dingin". Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun
1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat
menghambat pertumbuhan-pertumbuhan progresif berbagai negara. Tadinya,
segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran di
mana-mana mulailah berjalan pesat.
"Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada
perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progresif mudah sekali dicap
"Komunis". Segala apa saja yang menuju angan-angan baru dicap "Komunis".
Anti-kolonialisme - Komunis. Anti exploitation de l'homme par l'homme -
Komunis. Anti-feodalisme - Komunis. Anti kompromis - Komunis. Konsekwen
revolusioner - Komunis.
"Ini banyak sekali mempengaruhi fikiran orang-orang, terutama sekali
fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan ini pun terus
dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang
jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan
lain-lain sebagainya.
"Dus : Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit "takut
kalau-kalau disebut kiri", "takut kalau-kalau disebut Komunis". Kiri-phobi
dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam
soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis. Dan,
orang-orang yang jiwanya memang objektif ingin menegakkan kapitalisme dan
feodalisme, mengucapkan selamat datang kepada peng-capan kiri dan
peng-capan Komunis yang dipropagandakan oleh satu fihak daripada perang
dingin itu.
"Sampai sekarang masih saja ada orang-orang yang tidak bisa berfikir secara
bebas apa yang baik bagi rakyat Indonesia dan apa keinginan Rakyat
Indonesia, melainkan � priori telah benci dan menentang segala apa saja yang
mereka sangka adalah kiri dan adalah "Komunis".
"Dua sebab subjektif dan objektif itu membuat beberapa golongan dari Rakyat
Indonesia menjadi konservatif dan reaksioner, anti-progresif dan
anti-revolusioner " (kutipan dari halaman 406 dan 407)..
 
Para pembaca yang budiman. Mohon dicatat bahwa pidato ini diucapkan 5 tahun
sebelum terjadinya peristiwa G30S, dan setahun sesudah diucapkannya pidato
Manifesto Politik (Manipol) dan juga setahun sesudah Kongres PKI ke-6, yang
resepsinya dihadiri oleh Bung Karno (tentang hal ini ada catatan tersendiri.
Pen.). Waktu itu, Bung Karno sudah mengecam, memperingatkan, bahkan
"memarahi" orang-orang yang anti-Marxisme atau anti-Komunis. Kalau dibaca
karya-karyanya atau didengar pidato-pidatonya, maka akan nyatalah bahwa
hampir dalam semua pidatonya itu tercermin keinginannya yang menyala-nyala
(atau cita-citanya yang paling diidam-idamkannya), yaitu : tergalangnya
persatuan revolusioner dari seluruh potensi bangsa, termasuk golongan
komunis.
 
 
PERSATUAN REVOLUSIONER DAN GOTONG ROYONG
 
Hal yang demikian itu juga nampak jelas sekali dalam bagian lain pidatonya
yang itu juga, yang berbunyi sebagai berikut:
"Di Indonesia ini memang telah ada ada tiga golongan-besar "revolutionaire
krachten", yaitu Islam, Nasional, dan Komunis. Senang atau tidak senang, ini
tidak bisa dibantah lagi! Dewa-dewa dari Kayanganpun tidak bisa membantah
kenyataan ini! Jikalau benar-benar kita hendak melaksanakan Manifesto
Politik-USDEK, jikalau kita benar-benar setia kepada Revolusi, jikalau
benar-benar kita setia kepada jiwa Gotong Royong, jikalau benar-benar kita
tidak kekanak-kanakan tetapi sedar benar-benar bahwa Gotong Royong,
Persatuan, Samenbundeling adalah keharusan dalam perjuangan anti
imperialisme dan kapitalisme, maka kita harus mewujudkan persatuan antara
golongan Islam, golongan Nasional, dan golongan Komunis itu. Maka kita tidak
boleh menderita penyakit Islamo-phobi, atau Nasionalisto-phobi, atau
Komunisto-phobi!
"Janganlah mengira bahwa saya ini orang yang sekarang ini memberi "angin"
kepada sesuatu fihak saja. Tidak! Saya akan bersyukur kepada Tuhan kalau
saya mendapat predikat revolusioner. Revolusioner di masa dulu, dan
revolusioner di masa sekarang. Justru oleh karena saya revolusioner, maka
saya ingin bangsaku menang. Dan justru oleh karena saya ingin bangsaku
menang, maka dulu dan sekarang pun saya membanting tulang mempersatukan
semua tenaga revolusioner, - Islamkah dia, Nasionalkah dia, Komuniskah dia!
"Bukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan. Bacalah tulisan saya
panjang-lebar dalam majalah "Suluh Indonesia Muda" tahun 1926, tahun
gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Di dalam tulisan itupun saya
telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam,
Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Haji Muslich,
tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan yang
lalu persetujuannya kepada persatuan Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena
persatuan itu memang perlu, memang mungkin, memang dapat." (dikutip dari
halaman 414, Di bawah Bendera Revolusi, jilid dua).
 
* * *
 
Dapatlah dimengerti, kiranya, bahwa ada orang-orang (terutama di kalangan
muda) yang "kaget" atau termangu-mangu ketika membaca kutipan di atas.
"Ungkapan" yang demikian itu sudah hilang, tidak pernah terdengar lagi,
selama lebih dari 30 tahun!!! Dan, mungkin ada juga yang bertanya-tanya
dalam hati, apakah betul Bung Karno, sebagai Presiden, Kepala Negara dan
Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI pernah mengucapkan hal-hal yang
seperti itu? Dan, barangkali juga, ada yang bertanya-tanya mengapa Bung
Karno sampai berbicara semacam itu.
 
Kalau memang betul ada orang-orang yang sampai mempertanyakannya, itulah
salah satu di antara bukti-bukti tentang betapa hebatnya "pembrangusan"
suara Bung Karno selama puluhan tahun ini oleh Orde Baru/GOLKAR. Itulah
bukti juga bahwa bangsa Indonesia telah secara sengaja dibikin "lupa" kepada
sejarahnya sendiri. Bahwa bangsa Indonesia (terutama generasi muda) menjadi
tidak mengenal sejarah perjuangan Bung Karno adalah dosa besar Orde
Baru/GOLKAR. Bahwa dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah hanya
disajikan sejarahnya secara superfisial atau sepotong-potong - bahkan
dengan konotasi yang negatif - adalah sesuatu yang untuk selanjutnya di
kemudian hari harus dikoreksi, dirombak, atau disusun kembali.
 
 
SEGALA-GALAANYA UNTUK DAN DEMI RAKYAT!
 
Sekarang ini, dan untuk selanjutnya, bangsa kita berhak untuk mengenal
sejarah Bung Karno sebaik mungkin atau sebanyak mungkin. Oleh karena itu,
buku-buku yang berisi karya-karya aslinya atau gagasan-gagasannya perlu
disebar-luaskan secara bebas dan seluas-luasnya. Di samping itu, perlu
dianjurkan atau didorong lahirnya berbagai tulisan tentang sejarah
perjuangannya, tentang jasa-jasanya kepada rakyat dan bangsa, dan juga
tentang kesalahan-kesalahannya. Dengan demikian, maka ada bahan atau sarana
bagi rakyat dan bangsa untuk mengetahui bahwa rakyat Indonesia pernah
mempunyai seorang pemimpin yang besar dan patut dijadikan kebangggaan
rakyat. Juga, dengan demikian, rakyat kita tahu juga bahwa Bung Karno telah
menjadi korban dari para pendiri sistem politik Orde Baru/GOLKAR.
 
Rakyat perlu dan berhak tahu, bahwa pengkhianatan para pendiri Orde
Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno, pada hakekatnya adalah juga pengkhianatan
terhadap rakyat. Sebab, sejarah sudah membuktikan, secara nyata pula, bahwa
Bung Karno memang berjuang untuk kepentingan rakyat banyak, terutama
"rakyat" kecil. Kalau dibaca karya-karyanya dan didengar pidato-pidatonya,
maka jelas sekali bahwa titik pusat perjuangannya adalah untuk membebaskan
rakyat dari segala macam penindasan dan penghisapan. Oleh karena itulah,
sebagai seorang revolusioner yang ingin berjuang untuk kepentingan rakyat
kecil, ia telah menciptakan Marhaenisme.
 
Marhaenisme mengangkat masalah penghisapan dan penidasan "rakyat kecil"
yang terdiri dari kaum tani miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang
kecil - kaum melarat Indonesia - yang dilakukan oleh para kapitalis,
tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap lainnya. Ungkapan yang
sering dipakai oleh Bung Karno, dan yang paling terkenal, adalah "l'
exploitation de l'homme par l'homme" (penghisapan manusia oleh manusia).
Marhaenisme, yang telah dilahirkannya dan dikembangkannya antara tahun
1930-1933 merupakan pemikiran-pemikiran kiri yang senafas dengan Marxisme.
Karyanya ini, seperti banyak karyanya yang lain, menunjukkan dengan jelas
bahwa baginya, kepentingan rakyat adalah tujuan akhir dari segala-galanya.
 
Ketika dewasa ini kita sedang memperingati HUT ke-100 Bung Karno, perlu
sekali menyoroti masalah satunya, atau bersatunya, atau kesatuannya jiwa
Bung Karno dengan jiwa kerakyatan ini. Untuk itu, barangkali ada gunanya
untuk dikutip satu bagian kecil pidatonya tahun 1957, yang berbunyi sebagai
berikut :
 
"Coba ingatkan kembali pergerakan kita dulu sebelum mencapai kemerdekaan.
Dulu kita semua adalah "rakyati", dulu kita semua adalah "volks". Api
pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala fikiran
dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan
pergerakan kita dulu itu yalah masyarakat adil dan makmur bagi rakyat.
Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat, dulu kita pakai
sebagai alat perjuangan. Segenap kekuatan perjuangan kita dulu adalah
kekuatan rakyat. (Di bawah Bbendera Revolusi, halaman 285).
 
"Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, tetap
berlaku bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini har
us ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkrit; ditujukan kepada hal-hal
yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi
dasar-dasarnya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kekuatan
rakyat. Api kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus
tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan
makmur, masyarakat "rakyat untuk rakyat". Karakteristik segenap
tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu
karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia
sendiri" (Di bawah Bendera Revolusi, halaman 286).
 
 
PENGGULINGAN BUNG KARNO : PENGKHIANATAN THD RAKYAT
 
Itulah, Bung Karno! Karenanya, orang-orang yang anti Bung Karno (waktu itu,
dan juga sekarang) tidak bisa menyerang Bung Karno dengan tuduhan bahwa ia
membohongi rakyat, atau menindas rakyat, atau merugikan kepentingan rakyat.
Bung Karno tidak bisa diserang dengan dalih bahwa apa yang ia ucapkan adalah
berbeda dengan apa yang ia laksanakan. Justru sebaliknya, ia diserang justru
karena ia menyuarakan hati nurani rakyat. Ia dimusuhi karena ia bersatu
dengan rakyat. Oleh karena itu, penggulingan Bung Karno oleh para pendiri
Orde Batu/GOLKAR adalah sesungguhnya pengkhianatan terhadap Amanat
Penderitaan Rakyat.
 
Pengalaman selama Orde Baru lebih dari 32 tahun, yang akibat-akibatnya
masih bisa disaksikan sampai sekarang, adalah buktinya. Dewasa ini
diperkirakan ada 40 juta orang yang menganggur dan setengah menganggur,
tetapi sebaliknya lapisan-lapisan tertentu masyarakat hidup dalam kemewahan
yang asalnya adalah dari cara-cara yang haram atau tidak bermoral. Selama
puluhan tahun selalu digembar-gemborkan bahwa Orde Baru adalah "orde
pembangunan". Adalah kenyataan yang sama-sama kita saksikan dewasa ini bahwa
Orde Baru/GOLKAR adalah justru orde perusakan secara besar-besaran :
semangat revolusioner bangsa sudah dipadamkan, nasionalisme patriotik
mengalami erosi besar-besaran, jiwa gotong-royong dimandulkan, persatuan
antar-suku diporak-porandakan, kerukunan antar-agama dirusak.
 
Supaya lebih jelas bahwa penggulingan Bung Karno adalah pengkhianatan
terhadap Amanat Penderitaan Rakyat bisa juga kita lihat dari segi-segi yang
lain, antara lain : banyak para "elite" yang bicara lantang atas nama rakyat
dan demi rakyat tetapi sekaligus juga mencuri kekayaan negara secara
besar-besaran. Pelaku-pelaku berat di bidang kejahatan kriminal, kejahatan
politik, kejahatan ekonomi kelas kakap, dan kejahatan kemanusiaan masih
bebas lenggang-kangkung saja, karena mereka bisa "membeli" aparat-aparat
negara. Para pejabat pemerintah dan para politisi (termasuk sebagian besar
para pimpinan partai dan anggota "dewan perwakilan rakyat") sudah
mempersetankan missi mereka sebagai pengabdi kepentingan rakyat. Kejujuran
sudah menjadi sifat yang langka. Ringkasnya, kehidupan moral sudah mengalami
pembusukan secara besar-besaran.
 
 
AJARAN BUNG KARNO DIMUSUHI ORDE BARU
 
Sekarang makin jelas, bahwa ajaran-ajaran dan politik Bung Karno, yang sudah
menjadi pedoman perjuangan rakyat dan bangsa selama puluhan tahun telah lama
ditentang dan dirusak oleh Orde Baru, yang sebagian akibat-akibatnya
tergambar seperti di atas. Maka, sekarang makin terasalah adanya kebutuhan
untuk mengisi kembali kekosongan spiritual bangsa dengan ajaran-ajaran
revolusioner dan kerakyatan Bung Karno. Sebab, ternyata, bahwa Orde Baru
selama 32 tahun tidak bisa - dan tidak mungkin !!! - menciptakan pedoman
spiritual dan moral bagi rakyat dan bangsa. Bahkan sebaliknya, pedoman yang
sudah ada pun telah dicampakkannya. Pancasila pun yang disajikan sebagai
"plagiat" selama puluhan tahun, telah diisi oleh Orde Baru dengan
praktek-praktek yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa asli
Pancasilanya Bung Karno.
 
Kalau kita teliti karya dan sejarah Bung Karno, maka jelaslah bahwa
ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan Bung Karno mengenai kehidupan bangsa dan
negara adalah revolusioner dan kiri dan mengangkat kepentingan rakyat
sebagai panglima. Justru karena itulah maka amat penting untuk menampilkan
kembali ajaran-ajarannya pada dewasa ini, demi kepentingan rakyat dan
kebaikan kehidupan bangsa sebagai keseluruhan. Menampilkan ajaran Bung Karno
dewasa ini mungkin akan ada gunanya bagi para "elite" di berbagai kalangan,
supaya mereka ingat kepada tugas dan tanggungjawab mereka masing-masing
terhadap kepentingan rakyat. Mungkin ada gunanya juga untuk mengingatkan
"mereka" yang sedang "memerangi" buku-buku kiri dan marxist, atau yang
mendirikan posko-posko anti-komunis, bahwa jalan yang mereka tempuh adalah
jalan yang salah dan, juga, menyesatkan.
 
Tetapi, mengingat masih besarnya effek racun yang sudah dicekokkan oleh Orde
Baru/GOLKAR selama puluhan tahun, bisalah dimengerti bahwa pekerjaan ini
tidak mudah, dan akan mengalami rintangan atau menghadapi perlawanan dari
mereka-mereka yang ingin tetap meneruskan praktek-praktek rezim militer
Suharto dkk. Namun, mengingat akan besarnya kerusakan-kerusakan yang telah
dibikin oleh Orde Baru/GOLKAR, maka mau tidak mau, rakyat dan bangsa kita
perlu dibangkitkan kembali untuk bisa menempuh jalan yang benar. Dalam
rangka inilah penyebaran kembali ajaran-ajaran Bung Karno mungkin akan bisa
memberikan sumbangan besar untuk pendidikan bangsa.
 
Kalau untuk tujuan yang luhur ini masih ada saja yang menentang - melalui
berbagai cara dan bentuk-, maka hal yang demikian itu membuktikan bahwa
sisa-sisa fikiran dan praktek-praktek Orde Baru (yang telah membodohkan
banyak orang!) masih tetap meracuni benak mereka. Karenanya, perjuangan
untuk melawan fikiran-fikiran terbelakang semacam ini perlu digelar
terus-menerus bersama-sama, demi pendidikan politik dan moral bagi rakyat
dan demi peningkatan peradaban dan kebudayaan berfikir bangsa.