Sabtu, 01 Oktober 2011


Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

                                               
Rumah Kediaman Ibu Kandung Ir. Soekarno
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.

Latar Belakang dan Pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Masa Pergerakan Nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa Penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.



Masa Perang dan Revolusi
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Rumah Persembunyian Ir.Soekarno di Rengasdengklok 

Pembacaan Teks Proklamasi



Setelah Pembacaan Teks Proklamasi


Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.

Masa Kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
 Ir. Soekarno dan John F Kennedy

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
 Soekarno dan Jawaharlal Nehru
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Sakit dan Meninggal
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.


Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol. Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
 Makam Bung Karno

Apa Kejahatan Bung Karno.?


Pertanyaan itu sebenarnya meluncur dari mulut seorang Sukarno sendiri. Dalam penuturannya kepada Cindy Adams, ia membeberkan sejumlah peristiwa percobaan pembunuhan atas dirinya. Baik penggranatan di Cikini, penembakan pesawat tempur Maukar, penembakan saat sholat Idul Adha tahun 1962, pencegatan Cisalak, penembakan di Makassar pendek kata, sebagai Presiden, Sukarno berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan.
Atas rentetan peristiwa itulah, Bung Karno kemudian bertanya, “Apa kejahatanku.? Mengapa mereka mencoba membunuh Sukarno?” Sebuah jawaban yang masuk akal pada saat itu adalah, karena Sukarno bukan seorang Muslim yang patuh. Itulah jawaban versi Islam garis keras pimpinan Kartosuwirjo, yang hendak menggulingkan Pemerintahan Pancasila dan menggantinya dengan Pemerintahan Islam. NKRI menjadi Darul Islam (Rumah Islam/Negara Islam). Hasil penelitian dan penyidikan aparat keamanan memang kemudian mengarah ke sana.
Para pelaku penggranatan dan penembakan berasal dari anasir DI/TII pimpinan Kartosuwirjo. Mereka menuduh Sukarno bukan muslim yang patuh, karenanya patut dibunuh. Ini tentu menjadi ironis, karena dalam banyak literatur, Bung Karno justru dikenal sebagai seorang muslim yang baik.
Satu contoh, mobil Chrysler yang menjadi korban penggranatan di Cikini, antara lain ia dapat justru sebagai muslim yang baik. Tahun 1955, Bung Karno menjalankan ibadah haji. Ia beribadah haji bertepatan dengan hari suci, sehingga ia menjadi seorang Haji Akbar. Haji Besar. Nah, ketika ia hendak kembali ke Tanah Air, Raja Arab Saudi mengatakan, “Presiden Sukarno, mobil Chrysler Crown Imperial ini telah tuan pakai selama berada di sini. Dan sekarang saya menyerahkannya kepada tuan sebagai hadiah.
Kata Bung Karno dalam hati, “Sudah tentu aku idak akan menentang kebiasaan ini (menolak pemberian ini). Di samping itu, aku memang sudah tertarik pada kendaraan itu semnjak aku mulai melihatnya.” Nah, mobil Chrisler ini termasuk salah satu korban penggranatan Cikini.
“Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan…” Begitu keterangan Bung Karno menyikapi sikap brutal atas percobaan pembunuhan atas dirinya, lalu merenggut nyawa-nyawa lain untuk kesia-siaan. Para antek dan pelaku peristiwa itu juga kemudian dijatuhi hukuman mati.
Itulah yang bertubi-tubi memenuhi rongga kepala Bung Karno, demi mengingat semua rentetan percobaan pembunuhan atas dirinya. “Apa kejahatan yang aku perbuat?’ Apa kejahatan Bung Karno? Bukan muslim yang taat, begitu versi kaum militan DI/TII.
Apa kejahatan Bung Karno? “Tidak mau ngeblok ke Amerika (Barat), yang itu berarti tidak mau ngeblok sebagai negara kapitalis murni,” begitu alasan Amerika Serikat dan sekutunya yang getol sekali menghabisi Sukarno melalui berbagai bentuk operasi intelijen mereka di Indonesia. Baik melalui individu, maupun dengan cara mendukung gerakan-gerakan separatis yang ada di Indonesia.
Termasuk jika nanti fakta ini terungkap secara terbuka, bahwa G30S/PKI yang berbuntut pada penggulingan Bung Karno, yang juga konom melibatkan anasir KGB (Soviet). Betapa banyak pihak yang berusaha menjatuhkan pemimpin kita yang satu ini. Menanggapi hal itu, suatu hari seorang mantan menteri era Bung Karno, M. Achadi mengatakan, “Presiden yang berjuang untuk kepentingan bangsanya, pasti banyak musuh. Sebaliknya, presiden yang tidak punya musuh, berarti presiden yang tidak bekerja untuk bangsanya.” (roso daras)


Maha Utang Indonesia Pasca Bung Karno


Sekilas tentang seorang jurnalis berkewarganegaraan Belanda, namanya Willem Oltmans. Dia menulis buku “Bung Karno Sahabatku”. Nah, gara-gar “bersahabat” dengan Bung Karno itulah ia kemudian dipecat dari kantornya, suratkabar paling berpengaruh di Belanda, de Telegraaf. Bukan hanya dipecat, Oltmans kemudian juga dipersona-non-grata-kan. Jadilah ia orang buangan.
Sejak itu, ia terus bersahabat dengan Bung Karno. Ia berpindah-pindah kerja dari satu media ke media yang lain. Bahkan jauh setelah Bung Karno dilengserkan oleh anak bangsanya sendiri, dengan bantuan Amerika Serikat.
Pagi ini, saya sarapan bukunya Oltmans. Saya ingat-ingat, ini kali ketiga saya baca-baca bukunya. Gaya bertuturnya yang mengalir, serta sajian data-data yang akurat, membuat tulisan Oltmans cukup enak dinikmati. Lebih dari itu, kumpulan tulisan Oltmans sejatinya adalah sebuah penuangan catatan buku harian. Ia jurnalis yang correct. Yang menuliskan setiap hal secara detail.
Satu hal yang sempat menyedot perhatian saya, adalah tulisan dia berjudul “Penutup (Amsterdam 1995)”. Dalam tulisannya, ia berkisah tentang kunjungannya (kembali) ke Indonesia tahun 1994, setelah 28 tahun lamanya meninggalkan Indonesia. Ya, untuk beberapa waktu, Oltmans sempat berdiam di sini.
Dari catatan Oltmas, ia menyaksikan, betapa kepemimpinan Soeharto berkembang makin buruk saja. Ia mengkitik pedas terhadap perilaku jenderal-jenderal penyokong Soeharto, serta elite-elite yang lain bergelimang hidup mewah. Dalam setiap seremoni di hotel-hotel dan restoran-restoran mewah, mereka pamer kekayaan. Sekadar gambaran, ia kutip kata-kata Iwan Tirta, sang desainer top. Katanya, “Nyonya-nyonya kalau datang tidak mencari kain yang bagus, tetapi mencari kain yang mahal.”
Oltmans pun kemudian menyimpulkan, untuk rakyat Indonesia yang tinggal di desa-desa, kehidupan mereka tidak banyak berubah. Lantas dialirkanlah data, bahwa utang nasional Indonesia selama pimpinan Bung Karno antara 1945 – 1965, tidak sampai tiga miliar dolar. Itu pun, utang-utang untuk pembelian persenjataan bagi usaha pembebasan Irian Barat.
Sementara, periode pasca 1965 hingga 1995 di bawah Soeharto, utang nasional meningkat menjadi 100 miliar dolar. Bahkan data pengamat menyebutkan, jumlah itu terlalu kecil, dan cenderung terus bertambah, yang akan menimbulkan problem finansial bagi Indonesia, seperti Mexico. Sekarang, kita paham betul arti kalimat Oltmans tersebut, khususnya bagi kita yang mengalami badai krisis moneter, krisis multidimensi yang berbuntut jatuhnya Soeharto 1998.
Bung Karno, dalam kepemimpinannya, menolak dengan sekuat tenaga gelombang “investor” asing, karena pada hakikatnya hal itu sama denga praktek imperialisme dengan “baju” ekonomi. Ini beda dengan Soeharto yang selalu memenuhi keinginan Washington, CIA, dan Tokyo. Ia buka lebar-lebar pintu masuk bagi “peminat asing”. Oltmans menyebut contoh, peran Bob Hasan, tokoh hitam kroni Soeharto, yang mengakibatkan sebagian besar pulau Kalimantan hancur-lebur. Hutan-hutan yang berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem, ditebang, dibabat, digunduli demi 10 miliar dolar setahun.
Ah, Oltmans… kamu satu dari sekian banyak orang Belanda yang berkontribusi bagi Indonesia melalui “catatan harian”-mu. Terima kasih. (roso dars)

Tumpas Pemberontakan PKI Madiun dalam Dua Minggu


Penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, tak lepas dari peran penting Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pas tangal 18 September 1948, saat matahari condong ke barat, kabar itu sampai ke pemerintah pusat di Yogyakarta. Kabar gawat, yang mewartakan meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.
Saat berita itu tiba di Istana (waktu itu dikenal dengan sebutan Gedung Agung), Panglima Soedirman tengah berada di Magelang. Yang pegang kendali ketika itu adalah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Dialah yang segera dipanggil Presiden Sukarno menghadapnya di Gedung Agung.
Kepada Presiden Sukarno, ia memaparkan rencana operasi penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Di sela-sela rapat di Gedung Agung, yang antara lain juga dihadiri Menko Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Segera setelah tuntas Nasution memaparkan konsep penumpasan pemberontaka, berkata Bung Karno, “Sebagai seorang yang telah berbulan-bulan langsung berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya dapat konsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI.”
Tak lama, keluarlah keputusan presiden. Intinya, berupa perintah kepadaa Angkatan Perang Republik Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya, atau simpatisannya.
Sidang kabinet untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun itu hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Setelah itu, Presiden Sukarno menyerahkan mandat pelaksanaanya kepada Jenderal Soedirman. Sementara, untuk pelaksanaannya, Nasution masih menunggu sidang kabinet, yang rencananya baru akan digelar menjelang tengah malam.
Nah, pada sidang kabinet itu, Jenderal Soedirman sudah hadir. Tidak banyak perdebatan dalam sidang kabinet yang membahas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Hanya Haji Agus Salim saja yang berkomentar. Katanya, “Kalau sudah begini, tentulah menjadi tugas tentara.” Sidang itu hanya berlangsung beberapa menit untuk kemudian memutuskan penumpasan pemberontakan tadi.
Jenderal Soedirman segera menugaskan Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto Komandan Brigade X untuk bergerak pada malam itu juga, dan menyampaikan laporannya keesokan harinya. Maka malam itu juga, tentara berhasil melucuti persenjataan Front Demokrasi Rakyat Yogyakarta. Di samping itu, menangkapi sejumlah pentolan yang berafiliasi ke PKI, seperti Alimin, Djoko Sudjono, Abdulmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan.
Semua penerbitan yang berafiliasi ke PKI juga diberangus, percetakannya disegel. Poster-poster dan spanduk-spanduk Front Demokrasi Rakyat dibersihkan, dan diganti poster-poster bertuliskan, “Kami hanya mengakui pemerintah Sukarno-Hatta”. Keseluruhan operasi itu selsai sebelum ayam berkokok. Persis sesuai instruksi Jenderal Soedirman.
Pagi hari menjelang siang, Jenderal Soedirman sudah menerima laporan lengkap dari Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto. Setelah itu, dilanjutkan Rapat Dewan Siasat Militer. Panglima Soedirman kemudian mengeluarkan keputusan-keputusannya. Antara lain, mengangkat Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II Siliwangi di bawah pimpina Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun. Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus.
Keseluruhan operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun itu hanya diberi waktu dua minggu. Prajurit tuntas mengemban tugas, hingga tertangkapnya semua pentolan PKI, bahkan hingga ke eksek

Sukarno, Presiden Miskin


Penulis buku “Fatmawati Sukarno, The First Lady” menuliskan pada bagian ke-6 kalimat sebagai berikut: “Sukarno, mungkin satu-satunya presiden termiskin di dunia. Semasa hidupnya, ia hanya memiliki satu rumah di Batutulis, Bogor. Untuk melukiskan “kemiskinannya”, kepada Cindy Adams, Bung Karno pernah bertutur, “Dan, adakah kepala negara lain yang lebih melarat dari aku, dan sering meminjam-minjam (uang) dari ajudannya?”….
Kita tentu harus melihatnya secara proporsional. Sebagai presiden, lazimnya tentu hidup dalam keadaan serba berkecukupan. Setidaknya, banyak hal yang menjadi beban negara. Meski begitu, kita juga mengetahui, bahwa selama menjabat, Bung Karno tinggal di istana. Istana negara milik negara. Bung Karno sendiri tercatat hanya memiliki sebuah rumah di Batu Tulis, Bogor. Rumah-rumah yang lain, ia belikan untuk istri-istrinya.
Sedangkan rumah Batu Tulis pun, selengsernya Bung Karno langsung disita Sekretariat Negara. Aneh. Entah atas dasar apa, rumah milik pribadi Bung Karno satu-satunya itu diambil oleh negara. Bahkan, Gubernur DKI Ali Sadikin, pernah memberi ebuah rumah dan sebidang untuk tinggal keluarga Sukarno.
Bukan hanya itu, semua harta pribadi milik Bung Karno yang ia tinggalkan di Istana, saat ia “diasingkan” oleh rezim baru, sebatas hanya didata, tetapi barang-barangnya raib entah kemana. Sungguh geram jika melihat kenyataan itu. Sebuah rezim yang diawali dengan konspirasi busuk bersama kekuatan asing, disusul oleh aksi menjarah harta mantan presidennya…. Itulah pondasi Ode Baru.
Tidak berhenti sampai di situ. Anak-anak Bung Karno pun terkena getahnya. Mereka tidak pernah mewarisi harta Bung Karno yang berlebihan. Mereka juga harus bekerja untuk nenopang hidupnya. Guntur dipaksa berhenti sekolah, dan bekerja membantu ibunya. Mega, Rachma, Sukma hidup bersama suaminya. Mereka masih sering berkumpul di rumah ibunya, di Jl. Sriwijaya 26, Jakarta Selatan. Kehidupan Fatmawati sendiri jauh dari kemewahan, sekalipun ia janda presiden, mantan first lady negara ini.
Dan ini cerita nyata… menggambarkan betapa sederhananya keluarga mendiang Bung Karno. Manakala hujan turun deras, air masuk karena atap yang bocor. Beberapa bagian langit-langit rumahnya bahkan tampak rapuh dan rusak. Sebagai janda presiden, Fatmawati tidak menerima tunjangan barang sepeser. Ia, baru menerima tunjangan resmi pada Juni 1979, sembilan tahun setelah kematian Sukarno!
Lebih ironis, ketika tahun 1972, rumah di Jalan Sriwijaya harus ditinggalkan karena tak kuat menanggung biaya perawatan rutin. Fatma mengontrakan rumah itu. Rumah yang telah menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya. Uang kontrakan dipakai antara lain membiayai Guruh kuliah di Belanda. Fatma sendiri hidup bersama ibunya, Khadijah di Jalan Cilandak V, Jakarta Selatan, tak jauh dari lokasi yang sekarang terkenal dengan Rumah Sakit Fatmawati. Namun saat itu, jalan menuju rumahnya sempit dan berlumpur. (roso daras)

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila (ke-1)


Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menepati permintaan Paduka tuan Ketua yan mulia. Apakah permintan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepad sdang Dkuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nati akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang Mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan: Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
Merdeka buat saya ialah “political independence”, politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini “zwaarwichtig” akan perkara yang kecil-kecil “Zwaarwichtig” sampai kata orang Jawa “jelimet”. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai jelimet! Maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Amstrong yang menceritakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka.
Lihatlah pula jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, PT Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya buku, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, sampai di lobang kubur! (tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun 33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politike onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, in one night only! kata Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirkan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade, yaitu orang Badui, diberi pelajaran bercocok-tanam. Nomade diubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, semuanya di seberang jembatang.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff, dan yang maha besar di sungai Djeppr? Apa ia telah mempunya radio-station, yan menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis?
Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Greche, baru mengadakan Djnepprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat, jikalau tuan-tuan demikian, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda itu semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!!! (Tepuk tangan riuh)….
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahl semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka Sekarang, sekarang, sekarang! (Tepuk tangan riuh)….
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political Independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti denga orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Mereka? (Seruan audiens: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balantentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka! (Tepuk tangan audiens menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbeaan antara Sovyet Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negaranya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka. (Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji f500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja kursi, yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu set, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu sitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat-tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dn Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara! (tepuk tangan, dan tertawa).
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinderuitzet, buat 3 tahun lamany! (tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, saudara-saudara sekalian. Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian PT Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekan Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: Kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakithongerudeem, banyak ini banyak itu, “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”
Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnyainternasionaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untukinternasionaalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahan, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka atau tidak? Mau merdeka atau tidak? (Hadirin serempak menjawab: Mauuu!) –(Bersambung)